Emi Suy: Sunyi Adalah Kemewahan

 

Foto bersama Emi Suy setelah selesai wawancara.

Emi Suy, penyair wanita yang karya-karya puisinya kerap dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan beberapa terhimpun di antologi puisi. Tak hanya itu, ia juga merupakan pendiri dan pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia yang menjadi tempat naungan para penulis yang kesulitan mempublikasikan puisinya.

Sebagai penulis, Emi Suy kerap kali mengusung tema-tema kehidupan, cinta, dan perjalanan batin manusia. Gaya penulisan Emi Suy yang menggabungkan kelembutan dan kejujuran emosi yang berpadu menjadikan karya-karyanya sangat dekat dengan hati pembacanya. Emi Suy telah menghasilkan empat buku puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020), dan Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022).

Tak hanya berhenti pada karya tulis, puisi-puisi Emi Suy juga mendapatkan pengakuan dalam dunia musik. Ananda Sukarlan, seorang pianis dan komponis ternama, tertarik dengan keindahan kata-kata Emi Suy dan memutuskan untuk menghidupkan puisi-puisinya melalui harmoni melodi. Dengan sentuhan musiknya yang memikat, Ananda Sukarlan berhasil menghadirkan puisi-puisi Emi Suy dalam bentuk lagu yang sangat menyentuh. 

Kolaborasi antara Emi Suy dan Ananda Sukarlan menjadi magnet yang mengundang banyak penikmat seni. Dalam konser-konsernya, Ananda Sukarlan membawakan lagu-lagu yang diadaptasi dari puisi-puisi Emi Suy, menghadirkan suasana magis yang sulit dilupakan. Melodi yang mengalun indah dan lirik-lirik yang penuh makna menghasilkan pengalaman mendalam bagi para penonton.

Saat bertemu dengan tim Boston News di Mall Pacific Place, Senayan, Jakarta. Emi Suy, datang dengan penampilannya yang nyentrik. Ia memakai topi kesayangannya yang sudah menjadi ciri khasnya. Pada saat pelaksanaan wawancara Emi Suy sedikit terlihat gugup dan tegang saat dihadapkan pada pertanyaan 2 jurnalis Boston News. Tetapi, seiring berjalannya wawancara Emi Suy perlahan terlihat lebih tenang dan semangat menjawab pertanyaan.

Dalam wawancara ini, Emi Suy menjelaskan tentang puisi-puisinya yang dekat sekali dengan kata “Sunyi”, serta puisinya yang dinyanyikan oleh seorang musisi, dan juga mengenai jabatan Emi Suy di Jagat Sastra Milenia. Berikut wawancara selengkapnya.

 

Tanya : Kenapa ingin menjadi seorang penulis?

Jawab : Saya ingin menjadi seorang penulis itu, pertama ingin mengungkapkan, mengekspresikan apa yang ada di pikiran saya. Ide, gagasan, apa yang saya rasakan, apa yang saya alami apa yang saya dengar dengan menulis saya bisa berkontemplasi bisa healing bisa katarsis, syukur-syukur menjadi sebuah karya dinikmati orang lain dan syukur-syukur bisa menginspirasi orang lain.

T : Apa yang memotivasi Anda atau menginspirasi untuk menjadi penulis?

J : Motivasi dalam menulis itu pertama saya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan, apa yang saya dengar kegelisahan-kegelisahan saya menjadi satu bentuk karya yaitu puisi. Dengan proses tersebut saya bisa melakukan renungan, kontemplasi itu menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati dan menginspirasi orang lain.

T : Kira kira ada tidak penulis yang Anda idolakan?

J : Ada, yaitu Pak Sapardi Djoko Damono dan Mas Joko Pinurbo. Karena dari buku-buku beliau saya belajar banyak tentang puisi dan beberapa puisi saya, epilognya dari Joko Pinurbo, seperti Alarm Sunyi, Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami epilognya dari beliau dan ada satu puisi di buku puisi saya yang saya persembahkan untuk Pak Sapardi Djoko Damono yang pernah saya bacakan langsung di sebelah beliau.

T : Anda sering mendapatkan penghargaan, Nah, tanggapan terhadap penghargaan bagaimana?

J : Yap. Alhamdulillah, saya bangga dan bahagia karena di antara buku-buku itu ada buku yang bertakdir baik mendapatkan penghargaan dari Perpustakaan Nasional di tahun 2019 kategori Puisi Terbaik gitu kan. Saya masuk 6 besar itu lebih memotivasi saya dalam berkarya. Tentu juga saya yakin bahwa setiap puisi atau buku yang kita tulis itu akan menemukan takdir baiknya masing-masing.

Jadi bahwa buku Ayat Sunyi mendapat takdir yang baik, yaitu mendapatkan penghargaan itu menjadi sebuah motivasi saya tersendiri. Saya yakin, buku ini atau puisi ini nanti punya takdir baik entah nanti seperti apa kita nggak pernah tahu ya kan, tapi saya tidak menyurutkan semangat saya untuk menulis, jadi menulis terus berproses terus nanti saya yakin hasil tidak pernah mengkhianati usaha, jadi berproses terus menulis terus.

T : Seperti yang sudah kita ketahui dalam beberapa buku yang Anda keluarkan, puisi Anda selalu membawa kata “Sunyi”. Kira kira ada gak sih alasan di balik itu?

J : Ada. Sunyi itu sebuah kemewahan. Di tengah hidup kita yang riuh, yang gaduh, yang bising di tengah kepadatan aktivitas kita, rutinitas kita sehari-hari. Kalau adik sebagai mahasiswa, kalau saya sebagai pekerja, sebagai ibu rumah tangga, sebagai seorang individu Emi Suy nya sendiri gitu ya. Nah sunyi ini menjadi gateway sebuah jalan, kalau saya bilang menulis puisi itu sebuah “Jalan Sunyi” ya, dan saya setia dengan “Jalan Sunyi”.

Di dalam sunyi itu segalanya terasa lebih nyaring, di dalam sunyi kita bisa berbicara dengan diri kita sendiri, mendengar nafas sendiri, bahkan kita bisa berbicara dengan Tuhan, dengan yang Mahakuasa ya kita bisa berdialog. Pokoknya di dalam sunyi itu bunyinya bukan “Kesepian”, tapi sunyi itu sunyi yang gaduh, sunyi yang gemuruh di mana pada saat sunyi itu ya kepala kita gaduh dan gemuruh. Nah ada hal yang ingin kita tuangkan jadi sunyi sendiri selain sebagai sumber ide penciptaan juga sebagai proses saya dalam berkarya. Prosesnya itu saya bisa saja merasa sepi di keramaian. Jadi sunyi itu, sesuatu yang mewah, ya sesuatu yang menurut saya melahirkan dan memberikan energi tersendiri buat saya.

T : Nah untuk beberapa orang kan sunyi itu mengartikaan kehampaan ya. Tapi Anda mengartikan sunyi itu sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan jiwa. Apa maksud dari menjaga sarana keseimbangan jiwa itu?

J : Ya karena dengan bersunyi ini kita lebih merasa peka ya. Peka terhadap segala sesuatu yang terjadi atau dengan sunyi kita bisa melakukan permenungan yang dalam. Dengan sunyi kita juga bisa lebih segalanya lebih nyaring kalau di dalam kesunyian itu. Jadi buat saya itu sunyi  yang berbunyi, Sunyi yang sangat menyentuh batin kita. Sunyi itu adalah perbincangan pekerjaan diri kita dengan diri kita sendiri, dengan pencipta, dengan segalanya yang ada di sekitar kita.

T : Nah, salah satu puisi yang terkenal dari  Anda kan “Penjahit Luka”. Kira kira apa alasan memilih diksi tersebut?

J : Ya di puisi “Penjahit Luka” itu kan ada 2 larik yang bisa dibilang sering dipakai orang untuk terlihat kuat, perempuan harus bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri. Nah kenapa saya memilih diksi itu saya sendiri juga sebagai perempuan dan sebagai ibu, bahwa perempuan itu dengan segudang problematika hidup, dinamika hidup dia harus bisa survive atau strong dan kalau ada masalah dia lekas mencari what nya, sehingga dia tidak berlama lama terjerat di problematika hidup, tapi dia harus cerdas.

Ketika perempuan bisa menjahit lukanya sendiri dan ketika dia sudah bisa mengobati dirinya sendiri. Dia akan sembuh, kemudian berguna untuk orang di sekitar dia untuk keluarganya juga untuk orang lain, jadi perempuan harus bisa menjahit lukanya sendiri. Jadi itu sebuah filosofi ya menurut saya, bahwa perempuan itu harus strong, harus tangguh, harus kuat, supaya dia tidak hanya memperdayakan dirinya untuk orang lain, tapi untuk masyarakat ya untuk lebih cakupannya lebih luas dari keluarga gitu, tapi juga menginspirasi.

T : Seperti yang sudah diketahui beberapa puisi Anda dijadikan musikalisasi puisi oleh Ananda Sukarlan dan dinyanyikan oleh Nikodemus Lukas. Bagaimana awal mulanya dan bagaimana perasaan Anda pribadi pada saat puisi dinyanyikan?

J : Dari keyakinan saya puisi yang saya tulis akan menemukan takdir baiknya. Nah takdir baiknya itu adalah ketika puisi itu dibaca oleh Ananda Sukarlan kemudian dia suka dan diikutkan Konser Sriwijaya pada tahun 2019 di Candi Muaratakus, Jambi dengan puisi-puisi dari penyair-penyair lain dan salah satunya puisi saya dinyanyikan oleh Nikodemus Lukas dengan seriosa. Di situ saya pas mendengarkannya saya merinding dan menangis, bahwa puisi saya bisa dikonserkan oleh seorang pianis/maestro. Ketika menjadi musik disitulah air mata saya turun merasa bangga dan terpacu untuk membuat karya lagi.

T : Belum lama ini Anda berkolaborasi membuat buku dengan Penyair Riri Satria dengan judul Algoritma Kesunyian. Bagaimana sih sejarahnya?

J : Sebenarnya buku Algoritma Kesunyian  ini adalah buku yang disusun oleh tim Jagat Sastra Milenia yang diperkasai oleh Ibu Nunung dan Pak Sofyan. Jadi mereka yang mengkonsep buku ini. Kami pun tidak tahu karena buku ini merupakan kado ulang tahun untuk Bang Riri sebagai Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia.

Beliau berdua mencari puisi terbaik dari saya dan bang Riri untuk dijadikan kompilasi dalam satu buku dan susunan puisinya pun seolah-olah saling bersautan padahal pada pembuatan puisi-puisi tersebut berbeda tema, waktu dan tahun pembuatannya, tapi mungkin memang ada persamaannya. Buku ini juga buku pertama saya yang bisa dibilang buku dwi tunggal / buku berkolaborasi di mana memuat sejumlah puisi saya dan puisinya Pak Riri dan temanya mempunyai korelasi, mungkin ini bisa dibilang sebuat kejutan dari teman-teman Jagat Sastra Milenia.

T : Selain menjadi penyair, Anda diketahui ikut mendirikan Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan aktif sebagai pengurus. Apakah boleh diceritakan kenapa bisa ikut mendirikan dan dimulai dari tahun berapa komunitas ini berjalan?

J : Jadi, komunitas Jagat Sastra Milenia itu didirikan pada tanggal 10 Oktober tahun 2020. Yang didirikan oleh Bang Riri Satria, saya Emi Suy, Nunung Nur, Sofyan, dengan kesamaan visi misi bahwa kita butuh ruang untuk berproses bersama. Awalnya disitu sih kalau mau ngulik lebih dalam, bisa diklik di Jagat Sastra Milenia itu akan muncul visi misinya apa saja? Tapi, utamanya adalah kita butuh sebuah ruang kreatifitas bersama, berproses bersama, tumbuh besar bersama. Karna untuk jadi penulis kita nggak bisa sendiri. Kita harus bersama-sama. Tapi, kalau untuk menulis, sendiri-sendiri bisa.

T : Tentang teknologi Metaverse hingga Riri meluncurkan buku Metaverse: Dampak Terhadap Puisi dan Kepenyairan, bagaimana tanggapan Anda tentang teknologi tersebut dengan karya puisi? Apakah ada perbedaan?

J : Dengan adanya Metaverse sih pasti berdampak ya. Maksudnya, akan sangat membantu dengan adanya teknologi tersebut. Misalnya kita ingin riset ke sebuah lokasi, nah dengan itu mungkin memudahkan kita tidak perlu keluar kota atau ke lokasi tersebut tapi dengan cara Metaverse. Jadi seolah-olah kita berada di ruang angkasa, seolah kita berada di pantai, atau sedang berada di kota yang kita inginkan. Saya rasa dengan kehadiran Metaverse sangat mendukung dan membantu proses kreatif atau berkarya.

T : Selain mengikuti komunitas JSM, Anda diketahui menjabat sebagai Sekretaris Redaksi lalu merangkap menjadi Redaktur Sastramedia, sebuah jurnal sastra daring. Apakah ini menjadi salah satu misi Anda untuk meningkatkan minat baca warga Indonesia?

J : Ya betul, dengan begitu akan ada sebuah ruang untuk tempat dimana banyak penulis-penulis daerah yang karyanya which is sangat bagus, tetapi belum bisa dibaca orang banyak. Dengan adanya Jurnal Sastra media, semua berharap dengan kurasi yang tepat, dengan mengedepankan kualitas, karya tersebut bisa dipublikasi, bisa dibaca oleh seluruh Indonesia bahkan di luar negeri juga bisa mengakses.

Kami juga berupaya bahwa di tengah kelesuhan media saat ini maka media daring itu menjadi jalan lain untuk sebuah ruang, bisa sebagai tempat untuk mempublikasi karya-karya yang bagus, dari penulis muda di daerah pelosok, bahkan karya nya sangat bagus, sayang sekali jika tidak ada media yang membantu untuk mempublikasikan.

 

·         Puisi karya Emi Suy


PENJAHIT LUKA

seorang perempuan

menjahit luka tubuhnya di bilik renta

menemukan serpihan kenangan yang pernah retak


sendiri ditemani rindu

pelan-pelan jemarinya merangkai sunyi

di antara potongan-potongan kain perca

malam adalah ujung jarum yang tiba-tiba

menusuk ujung telunjuk

 

berdarah dan perih tak membuatnya berhenti

meski senyap telah ditelan gelap

matanya yang layu belum tampak sayu

berkali-kali menggulung benang yang terlepas dari skoci

 

ia sabar menyimpan warna-warna ingatan

dalam sebuah laci

matanya menatap dekat lubang jarum

memasukkan ujung benang dalam lubang

menjadikannya sempurna sepotong baju

 

membalut tubuhnya yang sedikit keriput

bahagia pasti tiba dalam pelukan doa

“perempuan mesti bisa menjahit

setidaknya menjahit lukanya sendiri,”

 bisik ibu.

 

SUNYI

daun-daun duduk

mengemas suntuk

di bangku panjang

mengeja sunyi yang lapang

 

dua batang pohon tergeletak

saksi percakapan yang retak

angin menoleh

dingin menoreh

 

diam mematung

rindu terhuyung

lesap ditelan senyap

lelap di peluk harap

 

mengecup keluh di kening pilu

kenangan berserak

kata berarak

sunyi pun beranak pinak

 

Sepiring Pisang

Malam: sepiring pisang bakar cokelat keju,

segelas cokelat hangat, dan rindu pekat dalam

hatiku. Ada yang menjadi saksi. Di bukit bintang,

aku ingat pada sebuah senja tenang.

 

Dalam gerimis ritmis ada senyummu di benakku

begitu manis. Kepergian musim dingin yang

digigilkan hujan. Aku menunggu musim semi

yang dihangatkan matahari dan sekuntum mawar

yang kau bawa saat kepulangan nanti.

 

T : Apakah buku pertama yang Anda tulis dan mengapa Anda menulis buku tersebut?

J : Awal saya menulis itu buku pertama adalah Tirakat Padam Api. Nah, pada waktu itu buku itu awal pertama kali proses saya menulis di mana saya baru melahirkan anak kedua tahun 2010 akhir. Dan kenapa Tirakat Padam Api, karena bagaimana saya mengolah energi tirakat padam api, itukan sebuah upaya untuk memadamkan sebuah kemarahan tapi bagaimana mengolah dari energi negatif menjadi energi positif.

Jadi sebuah karya, di situ ada proses kontemplasi yang dalam dan juga healing, dan katarsis. Sebenarnya menulis itu cara mengobati sakit jiwa, tapi bukan sakit jiwa yang gimana gimana ya. Menulis itu adalah implementasi atau cara yang tepat untuk mengobati diri kita sendiri dari kegelisahan, dari problematika, dari keriuhan di hidup ini.

T : Apa harapan Anda untuk penulis-penulis muda Indonesia?

J : Harapan saya bagi penulis penulis muda, yang sebetulnya secara kesempatan masih sangat panjang, proses juga masih sangat panjang. Teruslah menulis, semangat belajar belajar belajar menulis untuk berkarya dengan kesempatan yang masih relatif luas dan panjang ini bisa digunakan untuk menghasilkan karya sebaik baiknya dan sebanyak banyaknya. Jadi jangan patah semangat, teruslah berkarya untuk menghasilkan karya terbaik.

Emi Suy atau Emi Suyanti lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979, adalah perempuan penyair di Indonesia saat ini, serta salah seorang pendiri Komunitas Jagat Sastra Milenia dan aktif sebagai pengurus dan sekaligus Sekretaris Redaksi merangkap Redaktur pada Jurnal Sastra Daring Sastramedia.

 

        Sampai saat ini Emi sudah menerbitkan empat buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020), dan Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022). Buku Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019, sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi diselenggarakan Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020. Emi juga penerima Basa-Basi Award pada tahun 2019 dari penerbit Basa-Basi karena prestasi buku puisinya Ayat Sunyi. Sementara itu, buku esainya yang baru terbit Interval (2023).

        Puisinya dimuat di lebih dari 100 buku kumpulan puisi bersama, serta di berbagai media nasional, antara lain Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas. Emi juga berprofesi sebagai editor buku puisi, menjadi juri pada berbagai lomba menulis dan baca puisi, narasumber dalam berbagai diskusi puisi, dan namanya terdapat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Selain itu Emi juga seorang fotografer dan karyanya dipamerkan pada Pamaren Fotografi Nasional - The Power of Women - di Bandung tahun 2016.

        Di samping itu Emi juga dikenal sebagai aktivis sosial kemanusiaan serta salah seorang pendiri komunitas Jejak Langkah untuk kegiatannya tersebut.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama